Pemilihan legislatif
(Pileg) sudah di depan mata. Pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), partai politik (parpol), dan rakyat sudah
merundingkan agenda ini dengan harapan, tidak ada golput. Pasalnya, golput
merupakan “hantu politik” yang menjadi musuh dan harus dimusnahkan dari alam
demokrasi.
Sikap apolitis memang
sudah mendera masyarakat. Mengapa hal ini terjadi? Ini karena “kemuakan rakyat”
atas kondisi korslet pada parpol dan perilaku korup para pejabat kita. Selain
itu, penggawa pemilihan umum (pemilu), seperti KPU dan Bawaslu, juga “jarang”
bersosialisasi dan blusukan politik kepada masyarakat dengan konsisten dan
berkala. KPU terkesan setengah hati dan melakukan pendidikan politik ketika
menjelang pemilu saja. Padahal, yang namanya pendidikan antigolput harus gencar
dilakukan jauh-jauh hari sebelum pemilu. Rakyat seharusnya tidak sekadar
dididik menjelang pemilu, tetapi sepanjang demokrasi masih menjadi poros dan
sistem pemerintahan. Jadi, pemerintah harus rajin mengedukasi masyarakat agar
tidak tersesat dan golput. Pasalnya, selama ini yang dipahami rakyat tentang
politik hanya “buruknya” saja. Padahal, sisi baik politik juga banyak. Rakyat
harus diluruskan pola pikirnya agar tidak apolitis.
Dua Objek Di alam
demokrasi, pendidikan politik yang dilakukan KPU seharusnya menyentuh dua
objek, yaitu rakyat dan politikus. Dalam hal ini, KPU bisa mendorong rakyat
tidak golput dengan menggunakan hak pilihnya secara cerdas.
Objek kedua ada pada
calon anggota legislatif (caleg) yang saat ini sedang blusukan mencari dukungan
suara untuk memenangi pemilu pada 9 April 2014. Artinya, caleg harus dididik
mematuhi aturan main berpolitik dengan dialektika yang benar. Itu mulai dari
berkampanye, tidak menggunakan politik uang, dan tidak menebar fitnah kepada
rakyat demi terwujudnya asas pemilu.
Poros pendidikan yang
ditaburkan pada rakyat harus mengedukasi untuk “menolak” politik uang. Itu
karena musuh utama dalam pemilu adalah politik uang dan golput. Meskipun
politik uang sulit dipangkas, pendidikan politik harus diberikan pada rakyat
agar mengetahui dan mampu membedakan mana yang benar dan yang salah.
Jika rakyat dan caleg
sudah terdidik dan memegang teguh indepedensi yang jujur terhadap kebenaran,
diprovokasi dengan apa saja mereka mampu menyikapi dengan arif. Apalagi, 16
Maret - 5 April 2014, para peserta pemilu yang meliputi caleg dan simpatisan
parpol akan berkampanye terbuka. Sebagai
tahap awal kampanye terbuka, semua parpol telah berkomitmen berkampanye damai.
Deklarasi kampanye damai diadakan untuk mengikat komitmen moral dan politik
setiap parpol. Jika sudah terdidik, tanpa deklarasi pun mereka akan berkampanye
dengan retorika yang baik dan benar.
Antigolput Menurut data
KPU, pada Pemilu1955, partisipasi pemilih mencapai 91,41 persen, pada saat
tersebut partai masih mempunyai ideologi yang kuat, bahkan menjadi ciri khasnya
masing-masing. Pada Pemilu 1971, partisipasi pemilih mencapai 96,62 persen.
Pemilu 1977, tingkat partisipasi pemilih turun, tetapi tidak terlalu drastis,
menjadi 96,52 persen. Pada Pemilu 1982, tingkat partisipasi menurun, menjadi
96,47 persen. Pada Pemilu 1987, tingkat partisipasi mencapai 96,43 persen. Lalu
pada 1992, partisipasi pemilih 95,06 persen dan pada 1997 partisipasi pemilih
mencapai 93,55 persen. Pada pemilu 1999, tingkat partisipasi mencapai 92,74
persen. Setelah itu, pada 2004, tingkat partisipasi mencapai 84,07 persen. Pada
Pemilu 2009, tingkat partisipasi pemilih hanya 70,99 persen.
Bagaimana dengan Pemilu
2014? Akankah angka golput bertambah atau berkurang? Semua itu tergantung
pendidikan politik yang harus segera dilakukan. Intinya, ketidakpuasan, kemuakan,
dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin yang korup menjadi penyebab
lahirnya golput. Ini tidak bisa dimungkiri. Itu karena selama ini rakyat sudah
lelah dengan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak sesuai keinginan rakyat.
Banyak wakil rakyat korupsi, membolos bekerja, menipu rakyat, dan berkhianat. Namun,
apakah dengan hal itu rakyat harus golput? Tentu tidak. Golput bukanlah solusi.
Seharusnya, rakyat cerdas dan mengawal proses pemilu dengan memilih calon wakil
rakyat yang bersih dan amanah.
Meskipun tidak ada
dalam kurikulum, pendidikan antigolput ini bisa dilakukan dengan berbagai
formula dan pendekatan. Pertama, KPU harus bersinergi dengan sekolah menaburkan
virus antigolput kepada pemilih pemula. Artinya, pemilih pemula berpotensi
tinggi menyempatkan waktunya dalam menggunakan hak suaranya daripada pemilih
yang lanjut usia.
Semua media massa baik
cetak, online, dan televisi harus mengedukasi rakyat agar tidak golput.
Pasalnya, gerakan kultural media massa sangat berpengaruh terhadap pola pikir
rakyat. Oleh karena itu, sejak dini media massa sebagai elemen demokrasi harus
ikut serta menyerukan rakyat agar tidak golput. Dengan demikian, Pemilu 2014
akan berjalan sebagaimana mestinya. Setop golput, ayo nyoblos!
SUMBER :
- *Penulis adalah peneliti politik pada program pascasarjana Universitas Negeri Semarang, tenaga ahli di KPU Jawa Tengah.
- 21 Maret 2014 14:30 Hamidulloh Ibda* OPINI dibaca: 656
- http://sinarharapan.co/news/read/140321033/Pendidikan-Politik-Antigolput-