Kasus Pelanggaran Perusahaan

Contoh Kasus Pelanggaran Perusahaan Dalam Menjalani Bisnis
Disini dalam contoh kasus pelanggaran suatu korporasi penulis akan mengangkat kejadian sengketa lahan tanah di Mesuji, Bandar Lampung yang melibatkan PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dengan warga asli tanjung raya, kecamatan Mesuji.
Kasus ini baru naik ke permukaan media kurang lebih akhir tahun 2011, padahal awal terjadi kronologi yang menyebabkan konflik antara warga pemilik lahan dan perusahaan yaitu PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI), sudah ada sejak tahun 1994. Kejadian ini bermula ketika pada tahun 1994, ketika PT BSMI melakukan permohonan izin untuk permohonan izin untuk melakukan rencana perkebunan kelapa sawit yang terletak di desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung dan Nipah Kuning Kecamatan Mesuji Kabupaten Lampung Utara. Pada akhirnya Tanggal 18 Oktober 1994, Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Lampung memberikan Ijin Lokasi kepada PT. Barat Selatan Makmur Investindo untuk keperluan perkebunan kelapa sawit dan tumpang sarinya seluas 10.000 ha kebun inti dan 7.000 ha kebun plasma terletak di desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung dan Nipah Kuning Kecamatan Mesuji Kabupaten Lampung Utara.
PT BSMI mulai menggarap lahan pada 1994, dan pada awalnya hanya mengelola lahan inti kelapa sawit sebesar 10.500 hektare (ha). Dalam perjalanannya, perusahaan milik warga Malaysia tersebut melebarkan luas lahan sebanyak 7 ribu ha, yang berada di Desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung, dan Nipah Kuning. Pada enam tahun awal, lahan plasma yang diambil alih untuk dikelola PT BSMI tidak mendapatkan bagi hasil. Sebab, warga paham sejak penanaman bibit kelapa sawit hingga berbuah membutuhkan waktu enam bulan.
Namun, pada awal 2000, mulai muncul gejolak dan tuntutan dari masyarakat untuk mengelola lahan yang berstatus plasma. Tuntutan itu muncul, , karena selama 17 tahun PT BSMI mengelola lahan adat yang diklaim tiga warga desa, masyarakat di sana tidak pernah menikmati bagi hasil atau diizinkan mengelola lahan plasma. Yang makin membuat warga geram adalah Penambahan lahan seluas 2.455 Ha ini dilakukan oleh PT. Barat Selatan Makmur Investindo tanpa melalui pembebasan/ganti rugi dengan pemilik lahan.
Setelah 11 tahun berlalu terhitung bulan September 2011 masyarakat pemilik tanah, yang mendapat perluasan daerah dari PT BSMI tidak mendapat ganti rugi yang menyebabkan warga merasa dirugikan, pada puncaknya,insiden konflik terjadi pada 10 november 2011, Sejak September 2011 masyarakat yang merasa tanahnya diambil BSMI dan tidak pernah mendapat ganti rugi melakukan panen kolektif secara bergilir diatas lahan plasma. Dan sebelum melakukan panen masyarakat telah berkoordinasi dengan Polres Tulang Bawang. Seperti biasanya setiap satu minggu sekali masyarakat melakukan panen. Petani yang memiliki kendaraan diparkir dipinggir jalan. Sekitar jam 13.00 Brimob mengambil paksa salah satu motor milik petani yang sedang diparkir dengan diseret menggunakan truk ke markas Brimob di lokasi pabrik. Kemudian puluhan orang setelah selesai panen, bersama-sama menuju pos jaga Brimob untuk menanyakan dan meminta dikembalikan motor yang disita. Namun belum tiba dilokasi dan belum juga terucap kata, Brimob telah menembak para petani yang sedang mengendarai motor menuju lokasi. Penembakan menyebabkan 6 orang mengalami luka tembak dan 1 orang meninggal dunia. Mendapat kabar adanya korban jiwa, sekitar 500 orang dari 10 desa datang ke pos Brimob untuk melakukan perlawanan, namun karena tidak ada lagi orang, maka pelampiasan kemarahan dilakukan dalam bentuk pembakaran mes perkantoran dan sarana lainnya milik PT.BSMI.

Hukum – Hukum yang Berlaku Dari Contoh Kasus
Dari contoh kasus diatas jelas PT. Barat Selatan Makmur Investindo melakukan tindakan pelanggaran dari sisi eksploitasi tanah yang sudah keluar dari jalur, mengapa ? karena perjanjian antara pihak perusahaan sebagai pengelola dan warga sebagai pemilik tanah tidak berjalan dengan semestinya, bahkan sampai ada korban tewas karena tindakan membabi buta pihak aparat yang pada kasus ini sebagai pihak keamanan sector Perkebunan kelapa sawit di 3 desa yaitu di desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung dan Nipah Kuning Kecamatan Mesuji Kabupaten Lampung Utara.
Dari segi hukum jelas aparat keamanan melakukan tindakan yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia), karena apa kaidah hukum sebagai aparat tidak dilaksanakan oleh aparat keamanan yang pada saaat itu bertugas mengamankan daerah perkebunan kelapa sawit terbutkti korban keganasan aparat jatuh. Sedikitnya ada 5 orang yang menjadi korban keganasan anggota aparat keamanan yaitu anggota brimob, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menjelaskan lagi bahwa kasus ini masih berlanjut dan belum ada keputusan hukum karena masih akan ditindak lanjuti perkara aparat brimob yang menjadi tersangka dalam kasus ini.
Dari segi perusahaan, kalo ditinjau dari hukum ini termasuk hukum adat. Hukum adat antara warga sebagai pemilik tanah dan perusahaan sebagai pengguna usaha dari perkebunan kelapa sawit. Sesungguhnya, Dari perspektif Hukum Adat, hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat. Tanah, bagi masyarakat desa manapun termasuk desa-desa tersebut, memiliki fungsi yang sangat penting. Tanah merupakan tempat tinggal dan tempat penghidupan warga. Tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman arwah leluhurnya.
Terhadap tanah adat, masyarakat adat memiliki hak purba (hak ulayat). Hak masyarakat terhadap tanah adat atau selanjutnya bisa disebut hak ulayat diakui secara tegas diatur di dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Dalam pasal 3 ayat 1 disebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Dalam ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwasanya bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dan digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya hak menguasai dari Negara tersebut di atas , dalam pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam hal ini masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak guna usaha (HGU) yang akan dilakukan oleh pemerintah.
Dalam Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 67 ayat 1 disebutkan bahwa Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
1.      melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
2.      melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dantidak bertentangan dengan undang-undang.
3.      mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hokum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Diperjelas dalam memori penjelas undang-undang ini bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
1.      masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban
2.      ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya
3.      ada wilayah hukum adat yang jelas
4.      ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati
5.      masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Berdasarkan ketentuan- ketentuan diatas, terlepas dari ada tidaknya status penetapan dari pemerintah daerah setempat mengenai eksistensi Masyarakat Adat Mesuji, faktanya di lapangan adalah masyarakat Mesuji telah mendiami tanah dan mengusahakan tanah sebelum PT. BSMI datang dan mengusahakannya.
Adapun tindakan protes masyarakat Mesuji yang dilakukan tersebut pada bagian awal, semestinya dipandang bukan sebagai bentuk upaya menghalang-halangi pemberian Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah kepada BT. BSMI. Perubahan status tanah dengan adanya peralihan pengusahaan hutan dan HGU kepada PT.BSMI menyebabkan masyarakat kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka. Undang-Undang No.41 tahun 1999 telah mengamanatkan agar perubahan status tersebut tidak menyengsarakan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya untuk mewujudkan rasa keadilan dan perikemanusiaan.

Kesimpulan
Dari Penjelasan diatas jelas dapat disimpulkan bahwa pelanggaran PT Bumi Selatan Makmur Investindo melakukan pelanggaran dengan mengeksploitasi hasil perkebunan dengan meengindahkan hak-hak yang harus diterima oleh warga 3 desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung dan Nipah Kuning Kecamatan Mesuji Kabupaten Lampung Utara yaitu tidak dibayarnya pemebabasan tanah yang 2,554 hektar , memang keseluruhan tanah dipegang oleh pemerintah dan PT BMSI sebagai pengelola dan ada Hak Guna Usahanya terlalu bertindak dictator dan hanya mementingkan kepentingan sendiri, terbukti warga sudah tidak mendapatkan hak pembebasan lahan selama belasaan tahun juga dieksekusi secara tidak berkeperimanusiaan oleh brimob, polisi dan marinir yang memang menjadi partner dalam menjaga keamanan perkebunan kelapa sawit di kecamatan Mesuji.
Dan sampai sekarang belum ada keputusan hukum yang berlanjut dari episode kasus ini, kasus ini terlah menjaring dua pelanggaran pertama pelanggaran HAM dan kedua pelanggaran perjanjian antara perusahaan dengan warga sebagai pemilik tanah yang dipegang oleh pemerintah dan di gunakan HAK GUNA USAHA nya oleh PTBMSI.
Saran
Diaharapkan dari kasus ini penulis berhartap bahwa yang salah tetap dihukum dan warga 3 desa di kecamatan Mesuji lampung utara segera mendapatkan hak nya lagi untuk pembayaran pembebasan tanah dan pengambilan hasil panen seperti sedia kala.
Rekomendasi dari Tim gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait konflik Mesuji antara PT BMSI dan Warga 3 kampung daerah kecamatan Mesuji. Kepolisian secepatnya memproses kasus penembakan terhadap warga yang dilakukan oknum polisi dan memproses pihak-pihak yang membakar dan menjarah aset perusahaan pada peristiwa 10 November silam. kepolisian mengaudit pelaksanaan pengamanan di PT BSMI.
melakukan penyelidikan terkait beredarnya dokumen yang menyebutkan adanya pejabat-pejabat daerah yang diduga menyelewengkan dana ganti rugi lahan dalam rangka pembebasan lahan warga.
Badan Pertanahan Nasional segera melakukan pengukuran ulang areal hak guna usaha (HGU) yang bermasalah serta menginventarisasi hak dan penelusuran riwayat tanah masyarakat serta memberikan tanda bukti kepemilikan hak sesuai aturan perundang-undangan.

Sumber :

http://fourthbnation.wordpress.com/2013/06/20/pelanggaran-perusahaan-dalam-dunia-bisnis/

¡Compártelo!

0 komentar:

Posting Komentar

Buscar

 

Labels

rinna rinna rinna Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger