Etika
Utilitarianisme dalam Bisnis
Utilitarianisme pertama kali dikembangkan
oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Persoalan yang dihadapi oleh Bentham dan
orang-orang sezamannya adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu
kebijaksanaan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Singkatnya,
bagaimana menilai sebuah kebijaksanaan publik, yaitu kebijaksanaan yang punya
dampak bagi kepentingan banyak orang, secara moral.
Criteria
dan Prinsip Etika Utilitarianisme
Criteria pertama adalah manfaat , yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu
mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau tindakan
yang baik adalah yang menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan
atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.
Criteria kedua adalah manfaat
terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat
terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar)dibandingkan dengan
kebijaksanaan atau tindakan alternative lainnya.
Criteria ketiga adalah manfaat
terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yaitu dengan kata lain suatu kebijaksanaan
atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika utilitarianisme
adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak
mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang sekecil mungkin
bagi sedikit mungkin orang.
Secara padat ketiga
prinsip itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu mendatangkan
keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang.
Nilai
Positif Etika Utilitarianisme
a)
Rasionalitas, prinsip moral yang diajukan oleh etika utilitarianisme ini
tidak didasarkan pada aturan-aturan kaku yang mungkin tidak kita pahami dan
yang tidak bias kita persoalkan keabsahannya.
b)
Dalam kaitannya dengan itu, utilitarianisme sangant menghargai kebebasan
setiap pelaku moral. Setiap orang dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan dan
bertindak dengan hanya memberinya ketiga criteria objektif dan rasional tadi.
c)
Universalitas, yaitu berbeda dengan etika teleologi lainnya yang
terutama menekankan manfaat bagi diri sendiri atau kelompok sendiri,
utilitarianisme justru mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan
bagi banyak orang.
Utilitarianisme
sebagai Proses dan sebagai Standar Penilaian
a)
Etika utilitarianisme dipakai sebagai proses untuk mengambil sebuah
keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak. Dengan kata lain, etika
utilitarianisme dipakai sebagai prosedur untuk mengambil keputusan. Ia menjadi
sebuah metode untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau
kebijaksanaan yang akan dilakukan.
b)
Etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian bai
tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan. Dalam hal ini, ketiga
criteria di atas lalu benar-benar dipakai sebagai criteria untuk menilai apakah
suatu tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan memang baik atau tidak.
Yang paling pokok adalah menilai tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi
berdasarkan akibat atau konsekuensinya yaitu sejauh mana ia mendatangkan hasil
terbaik bagi banyak orang.
Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan atau CSR (corporate social responsibility)
kini jadi frasa yang semakin populer dan
marak diterapkan perusahaan di berbagai belahan dunia. Menguatnya terpaan
prinsip good corporate governance seperti fairness, transparency,
accountability, dan responsibility telah mendorong CSR semakin menyentuh
“jantung hati” dunia bisnis.
Di tanah air, debut CSR semakin menguat
terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 yang
belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di
bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung
jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
Namun, UU PT tidak menyebutkan secara
terperinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR
serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa
CSR “dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.” PT yang tidak melakukan
CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan
lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh peraturan pemerintah yang
hingga kini belum dikeluarkan.
Akibatnya, standar operasional mengenai
bagaimana menjalankan dan mengevaluasi kegiatan CSR masih diselimuti kabut
misteri. Selain sulit diaudit, CSR juga menjadi program sosial yang “berwayuh”
wajah dan mengandung banyak bias.
Banyak perusahaan yang hanya membagikan
sembako atau melakukan sunatan massal setahun sekali telah merasa melakukan
CSR. Tidak sedikit perusahaan yang menjalankan CSR berdasarkan copy-paste
design atau sekadar “menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan
masyarakat kurang diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah menjadi
seragam dan seringkali tumpang tindih.
Walhasil, alih-alih memberdayakan masyarakat,
CSR malah berubah menjadi Candu (menimbulkan kebergantungan pada masyarakat),
Sandera (menjadi alat masyarakat memeras perusahaan), dan Racun (merusak
perusahaan dan masyarakat).
Perusahaan
yang Telah Menerapkan Utilitarianisme atau CSR
Sejak didirikan pada 5 Desember 1933Unilever
Indonesia telah tumbuh menjadi salah satu perusahaan terdepan untuk produk Home
and Personal Care serta Foods & Ice Cream di Indonesia. Rangkaian Produk
Unilever Indonesia mencangkup brand-brand ternama yang disukai di dunia seperti
Pepsodent, Lux, Lifebuoy, Dove, Sunsilk, Clear, Rexona, Vaseline, Rinso, Molto,
Sunlight, Walls, Blue Band, Royco, Bango, dan lain-lain.
Selama ini, tujuan perusahaan kami tetap
sama, dimana kami bekerja untuk menciptakan masa depan yang lebih baik setiap
hari; membuat pelanggan merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati
kehidupan melalui brand dan jasa yang memberikan manfaat untuk mereka maupun
orang lain; menginspirasi masyarakat untuk melakukan tindakan kecil setiap
harinya yang bila digabungkan akan membuat perubahan besar bagi dunia; dan
senantiasa mengembangkan cara baru dalam berbisnis yang memungkinkan kami untuk
tumbuh sekaligus mengurangi dampak lingkungan.
Saham perseroan pertamakali ditawarkan kepada
masyarakat pada tahun 1981 dan tercatat di Bursa Efek Indonesia seja 11 Januari
1982. Pada akhir tahun 2011, saham perseroan menempati peringkat keenam
kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia. Cleaning productPerseroan
memiliki dua anak perusahaan : PT Anugrah Lever (dalam likuidasi), kepemilikan
Perseroan sebesar 100% (sebelumnya adalah perusahaan patungan untuk pemasaran
kecap) yang telah konsolidasi dan PT Technopia Lever, kepemilikan Perseroan
sebesar 51%, bergerak di bidang distribusi ekspor, dan impor produk dengan
merek Domestos Nomos.
Bagi Unilever, sumber daya manusia adalah
pusat dari seluruh aktivitas perseroan. Kami memberikan prioritas pada mereka
dalam pengembangan profesionalisme, keseimbangan kehidupan, dan kemampuan
mereka untuk berkontribusi pada perusahaan. Terdapat lebih dari 6000 karyawan
tersebar di seluruh nutrisi.
Perseroan mengelola dan mengembangkan bisnis
perseroan secara bertanggung jawab dan berkesinambungan. Nilai-nilai dan
standar yang Perseroan terapkan terangkum dalam Prinsip Bisnis Kami. Perseroan
juga membagi standar dan nilai-nilai tersebut dengan mitra usaha termasuk para
pemasok dan distributor kami. Perseroan memiliki enam pabrik di Kawasan
Industri Jababeka, Cikarang, Bekasi, dan dua pabrik di Kawasan Industri
Rungkut, Surabaya, Jawa Timur, dengan kantor pusat di Jakarta. Produk-produk
Perseroan berjumlah sekitar 43 brand utama dan 1,000 SKU, dipasarkan melalui
jaringan yang melibatkan sekitar 500 distributor independen yang menjangkau
ratusan ribu toko yang tersebar di seluruh Indoneisa. Produk-produk tersebut
didistribusikan melalui pusat distribusi milik sendiri, gudang tambahan, depot
dan fasilitas distribusi lainnya.
Sebagai perusahaan yang mempunyai tanggung
jawab sosial, Unilever Indonesia menjalankan program Corporate Social
Responsibility (CSR) yang luas. Keempat pilar program kami adalah Lingkungan,
Nutrisi, Higiene dan Pertanian Berkelanjutan. Program CSR termasuk antara lain
kampanye Cuci Tangan dnegan Sabun (Lifebuoy), program Edukasi kesehatan Gigi
dan Mulut (Pepsodent), program Pelestarian Makanan Tradisional (Bango) serta
program Memerangi Kelaparan untuk membantu anak Indonesia yang kekurangan gizi
(Blue Band).
Unilever
Indonesia Memiliki Visi :
Empat pilar utama dari visi kami
menggambarkan arah jangka panjang dari perusahaan kemana tujuan kami dan bagaimana kami menuju
ke arah sana.
a)
Kami
bekerja untuk membangun masa depan yang lebih baik setiap hari
b)
Kami
membantu orang-orang merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati
kehidupan dengan brand dan pelayanan yang baik bagi mereka dan bagi orang lain
c)
Kami
menjadi sumber inspirasi orang-orang untuk melakukan hal kecil setiap hari yang
dapat membuat perbedaan besar bagi dunia
d)
Kami
akan mengembangkan cara baru dalam melakukan bisnis dengan tujuan membesarkan
perusahaan kami dua kali lipat sambil mengurangi dampak lingkungan
Kami selalu percaya akan kekuatan brand kami
dalam meningkatkan kualitas kehidupan orang-orang dan dalam melakukan hal yang
benar. Semakin bertumbuhnya bisnis kami, meningkat pula tanggung jawab kami.
Kami mengenali tantangan global seperti perubahan iklim yang menjadi kepedulian
kita bersama. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari tindakan kami selalu
menyatu dalam nilai-nilai kami dan merupakan bagian fundamental mengenai siapa
diri kami.
Sumber :
Dr. Keraf, A. Sonny. 2006. Etika
Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius
Penulis, analis kebijakan sosial
dan konsultan CSR, Pembantu Ketua I Bidang Akademik STKS
http://kholisul.mhs.narotama.ac.id/2012/01/03/uas-etika-bisnis/
http://www.unilever.co.id/id/aboutus/introductiontounilever/